BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sewa rahim adalah menanam ovum seorang
wanita yang subur bersamaan dengan sperma suaminya didalam rahim wanita lain
dengan balasan sejumlah uang atau tanpa balasan karena berbagai sebab,
diantaranya, rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim
bersamaan dengan adanya dua sel telur yang subur atau salah satunya, atau
karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya
dari beberapa motif yang ada.
Hal ini diharamkan.
Sebagai agama yang syaamil Islam selalu
bisa memposisikan syariatnya sejalan dengan segala realita zaman. Bahkan dimasa
kemajuan fiqih Islam, para ulama di masa tersebut telah meletakkan panduan
hukum terhadap segala fenomena yang belum terjadi atau di dalam fiqih Islam
disebut dengan fiqhul iftiradhy[1].
Hal ini dengan sendirinya membantah pandangan yang menyatakan bahwa syariat
Islam tidak sesuai dengan zaman. Islam bukanlah agama yang jumud atau terbatas.
Tetapi Islam adalah agama yang fleksibel dan selalu dapat menempatkan
syariatnya sesuai dengan zaman. Sebagai agama yang komplit dengan segala aturan
hukumnya maka tidaklah pantas kita menyalahkan Islam ketika sesuatu fenomena
atau realita yang bertenangang dengan konsep Islam ditolak oleh para ulama. Namun
kita harus bisa mengorekasi dimana letak kesalahan fakta tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Sewa Rahim
a. Pengertian Sewa
Rahim Secara Bahasa
Yaitu kata “sewa” berarti pemakaian
(peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Sedangkan arti kata “rahim” yaitu
kandungan. Jadi pengertian sewa rahim menurut bahasa adalah pemakaian atau
peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.
b. Pengertian Sewa
Rahim Secara Istilah
Menurut istilah adalah menggunakan
rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah
disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma) yaitu pasangan suami istri, dan
janin itu dikandung oleh wanita tersebut sampai lahir kemudian suami istri itu
yang ingin memiliki anak akan membayar dengan sejumlah uang kepada wanita yang
menyewakan rahimnya.
c. Pengertian Sewa
Rahim Menurut Pandangan Kesehatan
Sewa rahim atau rahim
pinjaman sering disebut juga surrogate mother (Ibu pengganti), yaitu seorang
wanita yang mengadakan perjanjian dengan pasangan suami istri yang mana si
wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami istri infertil tersebut
dengan imbalan tertentu.
d. Pengertian Sewa
Rahim Menurut Pandangan Islam. Oleh Radin Seri Nabahah yaitu perwalian dalam
nikah, dan sebagainya.[2]
2.
Sebab Atau Tujuan Sewa Rahim
Terdapat beberapa alasan yang akan menyebabkan sewa rahim
dilakukan:
1.
Seorang wanita tidak mempunyai harapan
untuk mengandung secara biasa karena ditimpa penyakit atau kecacatan yang
menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.
2.
Rahim wanita
tersebut dibuang karena pembedahan.
3.
Wanita tersebut ingin memiliki anak
tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, karena
ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat
kehamilan.
4.
Wanita yang
ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (monopause).
5.
Wanita yang ingin mencari pendapatan
dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.[3]
3.
Bentuk-bentuk sewa rahim yaitu:
Adapun bentuk-bentuk sewa rahim, yaitu:
a)
Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan
benih suami(sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini
digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya
dibuang karena pembedahan, kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik
atau sebab-sebab yang lain.
b)
Sama dengan
bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan telah dibekukan dan
dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri
itu.
c)
Ovum isteri
disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim
wanita lain. Apabila suami mandul dan isteri ada gangguan kehamilan.
d)
Sperma suami
disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita
lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan
rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap
putus haid (menopause).
e)
Sperma suami
dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang
lain dari suami yang sama.[4]
4. Akibat atau
Pengaruh sewa Rahim
Adapun akibat atau pengaruh dari sewa rahim, yaitu:
a. Memaksa wanita
untuk mendermakan rahimnya.
b. Membunuh rasa keibuan, setelah
mengandung dengan susah payah.
c. Terjadinya percampuran nasab ketika
suami wanita pemilik rahim menggauli istrinya.
d. Perselisihan dalam menetapkan
nasab.
e. Perrselisihan ketika ibu
pengganti menolak menyerahkan bayi kepada pemilik ovum.
f. Permasalahan ketika ibu
pengganti merupakan ibu atau saudara pemilik ovum.
g.
Ketimpangan dalam perkawinan si anak
selanjutnya jika ibu pengganti menyewakan rahimnya lebih dari sekali.
h. Menimbulkan kerusakan dan fitnah
ketika hamilnya ibu pengganti yang tidak bersuami.[5]
5. Sewa rahim
menurut pandangan Islam, kesehatan dan para ulama
a. Menurut
pandangan Islam
Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang
pengharaman sewa rahim dalam keadaan berikut: menggunakan rahim wanita lain
selain isteri, percampuran benih antara suami dan wanita lain, percampuran
benih isteri dengan lelaki lain, atau memasukkan benih yang disenyawakan
selepas kematian suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad
Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya haram, karena akan
menimbulkan percampuradukkan nasab. Argumen yang dikemukakan para ulama antara lain:
a.
Praktek di atas identik dengan nikah
istibdha’ atau zina walaupun keadaan sperma sudah dibuahi (tidak menyendiri)
seperti diungkapkan oleh Dr. Jurnalis Udin: "Memasukan benih ke dalam
rahim wanita lain sama dengan bersetubuh dengan wanita itu.”
b.
Qaidah usul mengatakan, "Al-Ashlu
Fil Ibdha’ Al-Tahrim" (Pada dasarnya dalam urusan kelamin (percampuran)
hukumnya haram). Kontrak rahim termasuk meletakan sperma pada sebuah rahim yang
tidak halal baginya. Sedangkan perempuan yang rahimnya dikontrakkan jelas bukan
isterinya. Sperma dari siapapun kecuali sperma suaminya, haram dimasukkan ke
dalam rahimnya.
c.
Dalam surat
Al-Maarij ayat 31 Allah berfirman: "Maka barangsiapa yang menghendaki
selain yang demikian itu (bercampur kepada isterinya atau hamba sahaya yang
dimilikinya) maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas.”[6]
b.
Menurut
pandangan kesehatan
Di indonesia sendiri tidak
mempersoalkan apakah benih itu berasal dari orang lain, tetapi lebih kepada
apakah anak itu lahir dari perkawinan yang sah. dengan kata lain seorang anak
yang lahir diakui hanya dari ikatan perkawinan yang sah, tanpa mempersoalkan
bagaimana terjadinya hal itu (dari siapa benihnya dan bagaimana caranya). Tetapi di lain
pihak, analisis dan tes DNA sering dipakai juga untuk menentukan siapa orangtua
si anak. Hal ini terjadi
pada kasus laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilan
seorang wanita.
Jika salah satu donor (sel sperma atau
sel telur) bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, di indonesia hal
itu masih dilarang.
Secara hukum, juga secara agama. secara moral itu disamakan dengan
perzinaan, dan anak yang lahir tidak diakui secara hukum dan agama.
c. Menurut
pandangan ulama
Indonesia
Menurut Prof Sulaiman, Ketua MUI
Provinsi Jambi di sela pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Ke-2 di Ponpes
Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 25-28 Mei 2006. Mantan rektor
IAIN Sultan Toha ini menjelaskan, tindakan meletakkan sperma ke dalam rahim
wanita yang bukan istrinya adalah dilarang.
Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul
Hafidz Hilmi, Dr. Musthafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad
As-Surthowi Dekan fakultas syari’ah Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat
ibu sejati yang dinasabkan anak padanya ialah ibu pemilik benih, manakala ibu
yang mengandung dan melahirkan itu diibaratkan ibu susuan yang tidak dinasabkan
anak padanya, sekedar diqiyaskan dengan hukum susuan. Pendapat ini dibina atas
dasar bahwa persenyawaan antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan
perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada
mereka.
Pada keputusan ijtima’ ulama komisi
fatwa se-Indonesia kedua tahun 2006, menjelaskan bahwa transfer embiro ke rahim
titipan hukumnya adalah:
1.
Transfer
embiro hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan
pada rahim wanita lain hukumnya tidak boleh (haram)
2.
Transfer embiro hasil inseminasi buatan antara
sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain yang
disebabkan suami dan/atau isteri tidak menghendaki kehamilan hukumnya haram.
3.
Status
anak yang dilahirkan dari hasil yang diharamkan pada point 1 dan 2 di atas
adalah anak dari ibu yang melahirkannya.[7]
d. Menurut ulama’ NU dan Muhammadiyah
a. Menurut Ulama
NU dalam sidang komisi masail diniyah disela-sela muktamar ke-29 yang
berlangsung di pondok cipasung tasikmalaya, memutuskan: “Penolakan tegas
terhadap praktek penyewaan sewa rahim untuk kepentingan inseminasi buatan.
Praktek ibu titipan tersebut dinyatakan haram dan tidak sah”. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Imam Abu Daud, sebagai berikut:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقَى مَاءَهُ الزَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya: “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan
spermanya ke dalam rahim orang lain”.
b. Menurut Ulama Muhammadiyah dalam
muktamarnya pada tahun 1980 yang kemudian di realisasikan pada tahun 1987 mengecam
keras pembuahan buatan, bayi tabung, seleksi jenis kelamin anak transfer embiro
ke rahim titipan. Hal tersebut atas dasar hukum Hadist Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah pembahasan makalah di atas, kami dapat
menyimpulkan bahwa:
a.
Sewa rahim merupakan suatu praktek
penyelenggaraan peminjaman dan pemakaian atau pemanfaatan fungsi kandungan
untuk pengembangan embrio menjadi janin hingga terlahirnya seorang bayi dari
rahim ibu titipan (sewaan) dengan pembayaran sejumlah uang atau dengan suatu
imbalan.
b.
Dari Perspektif hukum islam baik NU dan MUHAMMADIYAH tentang sewa
rahim dinyatakan haram karena melanggar hukum islam.
c.
Dapat disimpulkan bahwa praktek sewa
rahim ini akan menimbulkan kemudharatan yang jauh lebih banyak dari pada manfaat
yang didapat. Adapun status seorang anak yang dihasilkan dari sewa rahim dengan
menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian
ditranplantasikan ke dalam rahim wanita lain adalah sama dengan anak zina.
Sedangkan ibu yang sebenarnya dari anak yang dilahirkan adalah wanita pemilik
ovum.
B. Saran
Dalam masalah ini perlu adanya kematangan sikap dan pemahaman
terhadap permasalahan yang berkaitan terhadap aspek-aspek hukum islam yang erat
kaitannya dengan penyelenggaraan sewa rahim. Adapun akibat-akibat hukum yang akan
ditemui dalam permasalahan sewa rahim ini antara lain adanya
kesulitan-kesulitan yang timbul baik menyangkut soal agama, hukum, moral dan
etika, juga akibat psikologis yang menyangkut mental orang tua (ibu pengganti)
dan anak terlahir nantinya. Untuk itu solusi yang dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sangat menginginkan untuk memperoleh anak bisa dilakukan
dengan mengasuh anak atau si suami menikah lagi, hal ini justru mengantisipasi
kesan negatif dan akan mengangkat harkat dan martabat wanita sebagai ibu secara
kodrati.
DAFTAR PUSTAKA
Adib Bisri, Moh.Terjemah Al faraidul
Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh.Kudus: Menara Kudus, 1977.
http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
Rasyid, Muhammad Hamdan, K.H., DR. Fiqih Indonesia
Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Jakarta: Almawardi Prima, 2003.
Mahmud Syaltut, Al-Fatwa,
Cairo, Darul Qalam.
Syihab,Umar,
H, Dr, Prof. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Toha
Putra Group, 1996.
Himpunan fatwa
majelis ulama Indonesia sejak 1975, penerbit erlangga,
2011.
[1]
Moh. Adib Bisrih, Terjemahan Al Faraidul Bahiyah Risalah
Qawaid Fiqh. Kudus: Menara Kudus, 1977.
[2] http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
[3] Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Syaltut Mahmud, Al-Fatwa, Cairo:
Darul Qalam, n.d. hlm. 326-329.
[7] Himpunan fatwa majelis ulama Indonesia
sejak 1975, penerbit erlangga, 2011.