Senin, 11 Juni 2012

makalah pengantar studi islam (sewa rahim menurut pandangan MUI, NU, dan MUHAMMADIYAH)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sewa rahim adalah menanam ovum seorang wanita yang subur bersamaan dengan sperma suaminya didalam rahim wanita lain dengan balasan sejumlah uang atau tanpa balasan karena berbagai sebab, diantaranya, rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur yang subur atau salah satunya, atau karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya dari beberapa motif yang ada. Hal ini diharamkan.
Sebagai agama yang syaamil Islam selalu bisa memposisikan syariatnya sejalan dengan segala realita zaman. Bahkan dimasa kemajuan fiqih Islam, para ulama di masa tersebut telah meletakkan panduan hukum terhadap segala fenomena yang belum terjadi atau di dalam fiqih Islam disebut dengan fiqhul iftiradhy[1]. Hal ini dengan sendirinya membantah pandangan yang menyatakan bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan zaman. Islam bukanlah agama yang jumud atau terbatas. Tetapi Islam adalah agama yang fleksibel dan selalu dapat menempatkan syariatnya sesuai dengan zaman. Sebagai agama yang komplit dengan segala aturan hukumnya maka tidaklah pantas kita menyalahkan Islam ketika sesuatu fenomena atau realita yang bertenangang dengan konsep Islam ditolak oleh para ulama. Namun kita harus bisa mengorekasi dimana letak kesalahan fakta tersebut.










BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Sewa Rahim
a.       Pengertian Sewa Rahim Secara Bahasa
Yaitu kata “sewa” berarti pemakaian (peminjaman) sesuatu dengan membayar uang. Sedangkan arti kata “rahim” yaitu kandungan. Jadi pengertian sewa rahim menurut bahasa adalah pemakaian atau peminjaman kandungan dengan membayar uang atau dengan pembayaran suatu imbalan.
b.      Pengertian Sewa Rahim Secara Istilah
Menurut istilah adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma) yaitu pasangan suami istri, dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sampai lahir kemudian suami istri itu yang ingin memiliki anak akan membayar dengan sejumlah uang kepada wanita yang menyewakan rahimnya.
c.       Pengertian Sewa Rahim Menurut Pandangan Kesehatan
Sewa rahim atau rahim pinjaman sering disebut juga surrogate mother (Ibu pengganti), yaitu seorang wanita yang mengadakan perjanjian dengan pasangan suami istri yang mana si wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami istri infertil tersebut dengan imbalan tertentu.
d.     Pengertian Sewa Rahim Menurut Pandangan Islam. Oleh Radin Seri Nabahah yaitu perwalian dalam nikah, dan sebagainya.[2]

2.        Sebab Atau Tujuan Sewa Rahim
Terdapat beberapa alasan yang akan menyebabkan sewa rahim dilakukan:
1.      Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa karena ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.
2.       Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.
3.      Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan, menyusukan anak, karena ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan.
4.       Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (monopause).
5.      Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.[3]

3.        Bentuk-bentuk sewa rahim yaitu:
Adapun bentuk-bentuk sewa rahim, yaitu:
a)      Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami(sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
b)       Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan telah dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
c)       Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Apabila suami mandul dan isteri ada gangguan kehamilan.
d)      Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
e)       Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama.[4]

4.        Akibat atau Pengaruh sewa Rahim
Adapun akibat atau pengaruh dari sewa rahim, yaitu:
a.       Memaksa wanita untuk mendermakan rahimnya.
b.       Membunuh rasa keibuan, setelah mengandung dengan susah payah.
c.        Terjadinya percampuran nasab ketika suami wanita pemilik rahim menggauli istrinya.
d.       Perselisihan dalam menetapkan nasab.
e.        Perrselisihan ketika ibu pengganti menolak menyerahkan bayi kepada pemilik ovum.
f.        Permasalahan ketika ibu pengganti merupakan ibu atau saudara pemilik ovum.
g.        Ketimpangan dalam perkawinan si anak selanjutnya jika ibu pengganti menyewakan rahimnya lebih dari sekali.
h.       Menimbulkan kerusakan dan fitnah ketika hamilnya ibu pengganti yang tidak bersuami.[5]

5.      Sewa rahim menurut pandangan Islam, kesehatan dan para ulama
a.       Menurut pandangan Islam
Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan berikut: menggunakan rahim wanita lain selain isteri, percampuran benih antara suami dan wanita lain, percampuran benih isteri dengan lelaki lain, atau memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya haram, karena akan menimbulkan percampuradukkan nasab. Argumen yang dikemukakan para ulama antara lain:
a.                      Praktek di atas identik dengan nikah istibdha’ atau zina walaupun keadaan sperma sudah dibuahi (tidak menyendiri) seperti diungkapkan oleh Dr. Jurnalis Udin: "Memasukan benih ke dalam rahim wanita lain sama dengan bersetubuh dengan wanita itu.”
b.                      Qaidah usul mengatakan, "Al-Ashlu Fil Ibdha’ Al-Tahrim" (Pada dasarnya dalam urusan kelamin (percampuran) hukumnya haram). Kontrak rahim termasuk meletakan sperma pada sebuah rahim yang tidak halal baginya. Sedangkan perempuan yang rahimnya dikontrakkan jelas bukan isterinya. Sperma dari siapapun kecuali sperma suaminya, haram dimasukkan ke dalam rahimnya.
c.                       Dalam surat Al-Maarij ayat 31 Allah berfirman: "Maka barangsiapa yang menghendaki selain yang demikian itu (bercampur kepada isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya) maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas.”[6]

b.      Menurut pandangan kesehatan
Di indonesia sendiri tidak mempersoalkan apakah benih itu berasal dari orang lain, tetapi lebih kepada apakah anak itu lahir dari perkawinan yang sah. dengan kata lain seorang anak yang lahir diakui hanya dari ikatan perkawinan yang sah, tanpa mempersoalkan bagaimana terjadinya hal itu (dari siapa benihnya dan bagaimana caranya). Tetapi di lain pihak, analisis dan tes DNA sering dipakai juga untuk menentukan siapa orangtua si anak. Hal ini terjadi pada kasus laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilan seorang wanita.
Jika salah satu donor (sel sperma atau sel telur) bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, di indonesia hal itu masih dilarang. Secara hukum, juga secara agama. secara moral itu disamakan dengan perzinaan, dan anak yang lahir tidak diakui secara hukum dan agama.

c.       Menurut pandangan ulama Indonesia
Menurut Prof Sulaiman, Ketua MUI Provinsi Jambi di sela pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Ke-2 di Ponpes Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 25-28 Mei 2006. Mantan rektor IAIN Sultan Toha ini menjelaskan, tindakan meletakkan sperma ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya adalah dilarang.
Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafidz Hilmi, Dr. Musthafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surthowi Dekan fakultas syari’ah Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat ibu sejati yang dinasabkan anak padanya ialah ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu diibaratkan ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar diqiyaskan dengan hukum susuan. Pendapat ini dibina atas dasar bahwa persenyawaan antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.    
            Pada keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa se-Indonesia kedua tahun 2006, menjelaskan bahwa transfer embiro ke rahim titipan hukumnya adalah:
1.      Transfer embiro hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain hukumnya tidak boleh (haram)
2.       Transfer embiro hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain yang disebabkan suami dan/atau isteri tidak menghendaki kehamilan hukumnya haram.
3.      Status anak yang dilahirkan dari hasil yang diharamkan pada point 1 dan 2 di atas adalah anak dari ibu yang melahirkannya.[7]
d.      Menurut ulama’ NU dan Muhammadiyah
a.       Menurut Ulama NU dalam sidang komisi masail diniyah disela-sela muktamar ke-29 yang berlangsung di pondok cipasung tasikmalaya, memutuskan: “Penolakan tegas terhadap praktek penyewaan sewa rahim untuk kepentingan inseminasi buatan. Praktek ibu titipan tersebut dinyatakan haram dan tidak sah”. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW  yang diriwayatkan Imam Abu Daud, sebagai berikut:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقَى مَاءَهُ الزَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan spermanya ke dalam rahim orang lain”.
b.      Menurut Ulama Muhammadiyah dalam muktamarnya pada tahun 1980 yang kemudian di realisasikan pada tahun 1987 mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, seleksi jenis kelamin anak transfer embiro ke rahim titipan. Hal tersebut atas dasar hukum Hadist Rasulullah SAW.














BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Setelah pembahasan makalah di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.       Sewa rahim merupakan suatu praktek penyelenggaraan peminjaman dan pemakaian atau pemanfaatan fungsi kandungan untuk pengembangan embrio menjadi janin hingga terlahirnya seorang bayi dari rahim ibu titipan (sewaan) dengan pembayaran sejumlah uang atau dengan suatu imbalan.
b.      Dari Perspektif hukum islam baik NU dan MUHAMMADIYAH tentang sewa rahim dinyatakan haram karena melanggar hukum islam.
c.       Dapat disimpulkan bahwa praktek sewa rahim ini akan menimbulkan kemudharatan yang jauh lebih banyak dari pada manfaat yang didapat. Adapun status seorang anak yang dihasilkan dari sewa rahim dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian ditranplantasikan ke dalam rahim wanita lain adalah sama dengan anak zina. Sedangkan ibu yang sebenarnya dari anak yang dilahirkan adalah wanita pemilik ovum.

B. Saran
Dalam masalah ini perlu adanya kematangan sikap dan pemahaman terhadap permasalahan yang berkaitan terhadap aspek-aspek hukum islam yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan sewa rahim. Adapun akibat-akibat hukum yang akan ditemui dalam permasalahan sewa rahim ini antara lain adanya kesulitan-kesulitan yang timbul baik menyangkut soal agama, hukum, moral dan etika, juga akibat psikologis yang menyangkut mental orang tua (ibu pengganti) dan anak terlahir nantinya. Untuk itu solusi yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sangat menginginkan untuk memperoleh anak bisa dilakukan dengan mengasuh anak atau si suami menikah lagi, hal ini justru mengantisipasi kesan negatif dan akan mengangkat harkat dan martabat wanita sebagai ibu secara kodrati.




DAFTAR PUSTAKA
Adib Bisri, Moh.Terjemah Al faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh.Kudus: Menara Kudus, 1977.
http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
Rasyid, Muhammad Hamdan, K.H., DR. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Jakarta: Almawardi Prima, 2003.
Mahmud Syaltut, Al-Fatwa, Cairo, Darul Qalam.
Syihab,Umar, H, Dr, Prof. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Toha Putra Group, 1996.
Himpunan fatwa majelis ulama Indonesia sejak 1975, penerbit erlangga, 2011.




[1] Moh. Adib Bisrih, Terjemahan Al Faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh. Kudus: Menara Kudus, 1977.
[2] http://www.indomedia.com/Bpost/052006/26/depan/utama6.htm.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Syaltut Mahmud, Al-Fatwa, Cairo: Darul Qalam, n.d. hlm. 326-329.
[7] Himpunan fatwa majelis ulama Indonesia sejak 1975, penerbit erlangga, 2011.

1 komentar:

  1. salam kenal ukhti...
    jangan lupa join site my blog di aim-mualim.blogspot.com

    BalasHapus